- 27 May 2015, 12:52
#6992
Book: Besahabat dengan Kehidupan, Memaknai dengan Kearifan | oleh: YM. Sri Pannavaro Mahathera |pages : 107 – 148
Munculnya Kebahagiaan
Kebahagiaan bisa muncul kalau ada kondisi yang membuat kita bahagia. Kalau kita sedang duduk-duduk atau sedang berjalan kemudian tiba-tiba ingat tentang kebahagiaan, lalu dengan serta-merta kita ingin bahagia; tidak mungkin kita bisa merasakan kebahagiaan saat itu juga. Mengapa demikian? Karena tidak ada sebab yang bisa membuat munculnya rasa bahagia. Jadi, kebahagiaan itu baru bisa muncul kalau memang ada kondisi, ada sebabnya.
Kalau anak naik kelas, kita akan bahagia. Kalau anak sudah lama kuliah, kemudian bisa selesai, bisa diwisuda, kita merasa bahagia. Kalau usaha kita maju, kita merasa bahagia. Tetapi, kalau tanpa ada kondisi, tanpa ada sebab, tanpa ada jalaran (faktor yg menyebabkan), maka tidak mungkin kita tiba-tiba merasa bahagia. Harus ada sebabnya, harus ada pendorongnya, harus ada kondisi yang bisa menimbulkan kebahagiaan itu.
Jadi, kalai kita lihat, kebahagiaan itu tergantung pada kondisi, tergantung pada sebab. Hanya saja kondisi-kondisi atau sebab-sebab yang di luar diri kita itu tidak memegang peranan utama, karena yang memegang peranan utama untuk bahagia adalah kondisi yang ada di dalam diri kita sendiri.
Kalau kita selalu berpikir, “Jika tidak ada kondisinya, tidak ada sebabnya, tidak ada jalarannya, tidak mungkin kita tiba-tiba bahagia, maka tentu kebahagiaan kita ini tergantung pada kondisi.” Saya mengatakan tidak sepenuhnya benar, meskipun ada benarnya juga. Kondisi yang di luar itu adalah kondisi yang bisa membuat kita bahagia, tetapi bukan yang utama. Kondisi utama yang membuat kita bahagia atau tidak bahagia adalah faktor yang ada di dalam dirii kita, yaitu bagaimana sikap kita menghadapi kondisi yang terjadi di luar itu.
* * *
Cepat Berubah
Sepasang suami-istri bertemu dengan saya. Mereka minta restu supaya anak perempuan satu-satunya bisa lulus ujian pendadaran. Suami-istri ini miskin, membuka warung kecil, rumahnya kontrak di pinggir kota. Mereka datang dengan serius. Saya memberikan nasihat dan dorongan kepada anaknya.
Beberapa hari kemudian mereka datang lagi. Dan saya melihat wajah mereka berseri-seri, senang bahwa anak mereka lulus, tidak tertunda. Mereka merasa itulah harapan satu-satunya bagi orang miskin. Kebahagiaan itu timbul karena anak mereka lulus. Kebahagiaan itu timbuk karena ada kondisinya. Tetapi, kurang lebih seminggu kemudian, mereka datang lagi dan sudah sangat-sangat berubah kebahagiaan yang mereka ceritakan, yang mereka dambakan dengan ketulusan anak tunggal perempuannya itu, seperti tidak berbekas lagi. Tenggelam, kalah, karena sekarang mereka harus pindah rumah. Rumah kontakanya tidak bisa diperpanjang lagi dan mereka harus segera pindah. Mereka tidak punya materi, tidak punya cukup uang. Bagaimana cara mereka harus menyelesaikan itu, kemana mereka harus pergi?
Jadi pada saat mereka dihadapkan pada persoalan yang primer, semua yang disebut bahagia itu lenyap. Mereka sangat kesulitan, sudah kehabisan akal. Mereka berpikir, “Sudah tidak ada jalan lagi. Bagaimana kami harus menyelamatkan hidup kami kalau kami harus pindah?” Saya hanya memberi nasihat dan mengingatkan bahwa mereka harus berusaha, bahwa mereka tidak sakit, tidak lumpuh; karena itu usaha harus dilakukan. Saya memberi dorongan semangat. Kemudian mereka pulang.
Sebulan kemudian mereka datang lagi dan sudah berseri-seri kembali, senang kembali. Karena tiba-tiba salah satu saudaranya menawarkan, “Pakailah rumah saya dulu setahun. Nanti kalau sudah setahun kita runding kembali. Dalam waktu setahun ini, semoga anak Anda yang baru saja lulus bisa mendapat pekerjaan sehingga Anda tidak terombang-ambing. Tahun depan kita runding kembali.”
Dari cerita ini kita bisa melihat, begitu cepatnya orang berubah. Dari serius, senang karena anaknya lulus, susah sekali karena harus pindah, kemudian senang lagi karena mendapatkan bantuan rumah. Begitu cepatnya kondisi itu mengombang-ambingkan seseorang. Mereka yang terlibat langsung dengan persoalan mungkin akan melihatnya tidak seperti saya. Tetapi, saya yang tidak terlibat, saya melihat dan berpikir, “Mengapa begitu?” Begitu suatu kondisi muncul, mereka merasa bahagia; begitu kondisi yang lain muncul, mereka merasa menderita; begitu kondisi yang lain muncul lagi, dia merasa bahagia lagi. Terus begitu. Itulah timbul tenggelamnya kebahagiaan. Itulah yang disebut dengan kebahagiaan. Persis, demikianlah penjelasannya.
* * *
Perubahan
Tidak ada yang kekal di alam semesta ini, semuanya berubah. Apakah yang tidak berubah? Apa saja berubah! Perubahan memang dapat membawa kemajuan. Yang kecil menjadi besar, yang dulu tidak mampu sekarang hidupnya lebih baik, yang di bawah kemudian bisa naik. Semua itu terjadi karena adanya fenomena perubahan. Kalau tidak ada perubahan, tidak akan ada kemajuan.
Kalau kita mengalami kesulitan yang sulit dipecahkan, tetapi kita menyadari bahwa di dunia ini semuanya terkena perubahan, maka akan timbul optimisme, timbul harapan bahwa persoalan apapun juga akan berubah. Kalau memang persoalan-persoalan itu tidak berubah, tentu kondisi, faktor lingkungan yang mengelilingi persoalan itu akan berubah. Tetapi, seandainya persoalan dan kondisinya tidak berubah dan kita sulit menerima hal atu keadaan itu, seiring dengan berjalannya waktu, tentu timbul perubahan di sekitar kita, maka pemikiran kita juga berubah. Kalau sebulan yang lalu sangat sulit menerima, sekarang kita sudah siap untuk menerimanya.
Perubahan memberikan semangat kita untuk hidup, perubahan memberikan kekuatan kepada kita untuk menghadapi persoalan, karena di dunia ini, apakah yang tidak berubah? Persoalan yang pelik, persoalan yang sulit, juga berubah; lingkungan juga berubah; dan tanggapan pikiran kita juga berubah. Perubahan membuat kita bertahan, tidak patah semangat, tidak putus asa.
Perubahan memberikan daya tahan, perubahan membuat seseorang untuk bertahan dengan penuh keuletan dan kesabaran. Kesabaran dan keuletan dalam bertahan menghadapi persoalan akan mampu kita lakukan kalau kita menyadari dengan sungguh-sungguh tentang hukum perubahan. Mengapa kita tidak bisa bertahan? Mengapa kita begitu berkecil hati? Mengapa kita tidak ingat bahwa masalah itu juga akan berubah? Faktor-faktor yang membuat masalah itu muncul pasti akan berubah, lingkungan kita akan berubah dan cara berpikir kita pun juga akan berubah. Perubahan menimbulkan daya tahan, menimbulkan keuletan, menimbulkan kesabaran. Perubahan memberikan harapan bagi kita untuk maju, mengisi dan menyelesaikan kewajiban kehidupan ini.
Tetapi, perubahan juga bisa membawa kehancuran, yang muda menjadi tua, yang sehat menjadi sakit, yang di atas kemudian turun ke bawah, yang sukses kemudian mengalami kegagalan; semua kejadian itu juga karena perubahan. Dari besar menjadi kecil juga perubahan. Bukan hanya dari yang kecil menjadi besar saja. Dari untung sedikit menjadi untung banyak adalah perubahan, tetapi dari untung banyak menjadi untung sedikit juga perubahan. Kemerosotan juga perubahan. Kegagalan, bencana, musibah, kemunduran, kelesuan, itu pun perubahan.
* * *
Munculnya Kebahagiaan
Kebahagiaan bisa muncul kalau ada kondisi yang membuat kita bahagia. Kalau kita sedang duduk-duduk atau sedang berjalan kemudian tiba-tiba ingat tentang kebahagiaan, lalu dengan serta-merta kita ingin bahagia; tidak mungkin kita bisa merasakan kebahagiaan saat itu juga. Mengapa demikian? Karena tidak ada sebab yang bisa membuat munculnya rasa bahagia. Jadi, kebahagiaan itu baru bisa muncul kalau memang ada kondisi, ada sebabnya.
Kalau anak naik kelas, kita akan bahagia. Kalau anak sudah lama kuliah, kemudian bisa selesai, bisa diwisuda, kita merasa bahagia. Kalau usaha kita maju, kita merasa bahagia. Tetapi, kalau tanpa ada kondisi, tanpa ada sebab, tanpa ada jalaran (faktor yg menyebabkan), maka tidak mungkin kita tiba-tiba merasa bahagia. Harus ada sebabnya, harus ada pendorongnya, harus ada kondisi yang bisa menimbulkan kebahagiaan itu.
Jadi, kalai kita lihat, kebahagiaan itu tergantung pada kondisi, tergantung pada sebab. Hanya saja kondisi-kondisi atau sebab-sebab yang di luar diri kita itu tidak memegang peranan utama, karena yang memegang peranan utama untuk bahagia adalah kondisi yang ada di dalam diri kita sendiri.
Kalau kita selalu berpikir, “Jika tidak ada kondisinya, tidak ada sebabnya, tidak ada jalarannya, tidak mungkin kita tiba-tiba bahagia, maka tentu kebahagiaan kita ini tergantung pada kondisi.” Saya mengatakan tidak sepenuhnya benar, meskipun ada benarnya juga. Kondisi yang di luar itu adalah kondisi yang bisa membuat kita bahagia, tetapi bukan yang utama. Kondisi utama yang membuat kita bahagia atau tidak bahagia adalah faktor yang ada di dalam dirii kita, yaitu bagaimana sikap kita menghadapi kondisi yang terjadi di luar itu.
* * *
Cepat Berubah
Sepasang suami-istri bertemu dengan saya. Mereka minta restu supaya anak perempuan satu-satunya bisa lulus ujian pendadaran. Suami-istri ini miskin, membuka warung kecil, rumahnya kontrak di pinggir kota. Mereka datang dengan serius. Saya memberikan nasihat dan dorongan kepada anaknya.
Beberapa hari kemudian mereka datang lagi. Dan saya melihat wajah mereka berseri-seri, senang bahwa anak mereka lulus, tidak tertunda. Mereka merasa itulah harapan satu-satunya bagi orang miskin. Kebahagiaan itu timbul karena anak mereka lulus. Kebahagiaan itu timbuk karena ada kondisinya. Tetapi, kurang lebih seminggu kemudian, mereka datang lagi dan sudah sangat-sangat berubah kebahagiaan yang mereka ceritakan, yang mereka dambakan dengan ketulusan anak tunggal perempuannya itu, seperti tidak berbekas lagi. Tenggelam, kalah, karena sekarang mereka harus pindah rumah. Rumah kontakanya tidak bisa diperpanjang lagi dan mereka harus segera pindah. Mereka tidak punya materi, tidak punya cukup uang. Bagaimana cara mereka harus menyelesaikan itu, kemana mereka harus pergi?
Jadi pada saat mereka dihadapkan pada persoalan yang primer, semua yang disebut bahagia itu lenyap. Mereka sangat kesulitan, sudah kehabisan akal. Mereka berpikir, “Sudah tidak ada jalan lagi. Bagaimana kami harus menyelamatkan hidup kami kalau kami harus pindah?” Saya hanya memberi nasihat dan mengingatkan bahwa mereka harus berusaha, bahwa mereka tidak sakit, tidak lumpuh; karena itu usaha harus dilakukan. Saya memberi dorongan semangat. Kemudian mereka pulang.
Sebulan kemudian mereka datang lagi dan sudah berseri-seri kembali, senang kembali. Karena tiba-tiba salah satu saudaranya menawarkan, “Pakailah rumah saya dulu setahun. Nanti kalau sudah setahun kita runding kembali. Dalam waktu setahun ini, semoga anak Anda yang baru saja lulus bisa mendapat pekerjaan sehingga Anda tidak terombang-ambing. Tahun depan kita runding kembali.”
Dari cerita ini kita bisa melihat, begitu cepatnya orang berubah. Dari serius, senang karena anaknya lulus, susah sekali karena harus pindah, kemudian senang lagi karena mendapatkan bantuan rumah. Begitu cepatnya kondisi itu mengombang-ambingkan seseorang. Mereka yang terlibat langsung dengan persoalan mungkin akan melihatnya tidak seperti saya. Tetapi, saya yang tidak terlibat, saya melihat dan berpikir, “Mengapa begitu?” Begitu suatu kondisi muncul, mereka merasa bahagia; begitu kondisi yang lain muncul, mereka merasa menderita; begitu kondisi yang lain muncul lagi, dia merasa bahagia lagi. Terus begitu. Itulah timbul tenggelamnya kebahagiaan. Itulah yang disebut dengan kebahagiaan. Persis, demikianlah penjelasannya.
* * *
Perubahan
Tidak ada yang kekal di alam semesta ini, semuanya berubah. Apakah yang tidak berubah? Apa saja berubah! Perubahan memang dapat membawa kemajuan. Yang kecil menjadi besar, yang dulu tidak mampu sekarang hidupnya lebih baik, yang di bawah kemudian bisa naik. Semua itu terjadi karena adanya fenomena perubahan. Kalau tidak ada perubahan, tidak akan ada kemajuan.
Kalau kita mengalami kesulitan yang sulit dipecahkan, tetapi kita menyadari bahwa di dunia ini semuanya terkena perubahan, maka akan timbul optimisme, timbul harapan bahwa persoalan apapun juga akan berubah. Kalau memang persoalan-persoalan itu tidak berubah, tentu kondisi, faktor lingkungan yang mengelilingi persoalan itu akan berubah. Tetapi, seandainya persoalan dan kondisinya tidak berubah dan kita sulit menerima hal atu keadaan itu, seiring dengan berjalannya waktu, tentu timbul perubahan di sekitar kita, maka pemikiran kita juga berubah. Kalau sebulan yang lalu sangat sulit menerima, sekarang kita sudah siap untuk menerimanya.
Perubahan memberikan semangat kita untuk hidup, perubahan memberikan kekuatan kepada kita untuk menghadapi persoalan, karena di dunia ini, apakah yang tidak berubah? Persoalan yang pelik, persoalan yang sulit, juga berubah; lingkungan juga berubah; dan tanggapan pikiran kita juga berubah. Perubahan membuat kita bertahan, tidak patah semangat, tidak putus asa.
Perubahan memberikan daya tahan, perubahan membuat seseorang untuk bertahan dengan penuh keuletan dan kesabaran. Kesabaran dan keuletan dalam bertahan menghadapi persoalan akan mampu kita lakukan kalau kita menyadari dengan sungguh-sungguh tentang hukum perubahan. Mengapa kita tidak bisa bertahan? Mengapa kita begitu berkecil hati? Mengapa kita tidak ingat bahwa masalah itu juga akan berubah? Faktor-faktor yang membuat masalah itu muncul pasti akan berubah, lingkungan kita akan berubah dan cara berpikir kita pun juga akan berubah. Perubahan menimbulkan daya tahan, menimbulkan keuletan, menimbulkan kesabaran. Perubahan memberikan harapan bagi kita untuk maju, mengisi dan menyelesaikan kewajiban kehidupan ini.
Tetapi, perubahan juga bisa membawa kehancuran, yang muda menjadi tua, yang sehat menjadi sakit, yang di atas kemudian turun ke bawah, yang sukses kemudian mengalami kegagalan; semua kejadian itu juga karena perubahan. Dari besar menjadi kecil juga perubahan. Bukan hanya dari yang kecil menjadi besar saja. Dari untung sedikit menjadi untung banyak adalah perubahan, tetapi dari untung banyak menjadi untung sedikit juga perubahan. Kemerosotan juga perubahan. Kegagalan, bencana, musibah, kemunduran, kelesuan, itu pun perubahan.
* * *